Selasa, 20 Juni 2017

Legenda tentang Kesaktian Maga Djara dan Maleba Nage Ratu

Oleh : Jefrison Hariyanto Fernando, S.I.P
Narasumber : Lay Huri ( Tokoh adat Liae)

Pada zaman dulu hiduplah dua orang yang dianggap sakti yang memiliki kesaktian tinggi atau dalam bahasa Sabu di sebut Mone Pana yaitu Maga Djara dari wilayah adat Liae dan Maleba Nega Ratu dari wilayah adat Mehara. Mereka berdua memiliki hubungan kekerabatan yang cukup erat .

Pada suatu ketika Maga Djara mengajak Maleba Nega Ratu untuk merantau ke pulau Sumba . sesampainya di sana mereka menginap dan tinggal di sumba timur bersama sanak saudara mereka yang ada di sana. Pada saat itu pula di Pulau Sumba sedang terjadi peperangan yang luar biasa antara Raja Wilayah Sumba Timur melawan Raja Wilayah Sumba Barat,

Suatu hari Raja Sumba Timur mendapat informasi tentang ada dua orang yang baru datang dari Sabu Raijua yang memiliki kesaktian yang luar biasa. Mendengar informasi tersebut, Raja Sumba timur memerintah pasukannya untuk mecari tau keberadaan kedua orang Sabu Raijua tersebut dan memanggil mereka untuk menghadap Baginda Raja. Perintah itu dijalankan dengan baik oleh para pasukan dan akhirnya berhasil menemukan dan membawa Maga Djara dan Maleba Nega Ratu untuk menghadap Raja.

Ketika Maga Djara dan Maleba Nega Ratu menghadap Raja Sumba Timur, Baginda Raja meminta bantuan kedua orang tersebut ( Maga Djara dan Maleba Nega Ratu) untuk pergi membunuh Raja Sumba Barat bersama pasukannya. Karena Raja yang perintah akhirnya tawaran Raja Sumba Timur diterima oleh Maga Djara dan Maleba Nega Ratu. Pada hari berikutnya Maga Djara dan Maleba Nega Ratu pergi kehadapan raja Sumba Timur untuk pamit menjalankan perintah untuk membunuh Raja Sumba Barat. Pada saat itu pula Raja Sumba Timur menyuruh pasukannya untuk melengkapi kedua orang tersebut dengan senjata , akan tetapi Maga Djara dan Maleba Nega Ratu menolak seluruh perlengkapan perang yang diberikan oleh Raja Sumba Timur kepada mereka dengan memberikan keyakinana bahwa mereka bisa membunuh Raja Sumba Barat cukup dengan tangan mereka sendiri. Akhirnya dengan kepercayaan penuh yang diberikan kepada Maga Djara dan Maleba Nega Ratu, baginda Raja Sumba Timur melepaskan mereka dengan penuh keyakinan.

Sesampainya di Sumba Barat, Maga Djara dan Maleba Nega Ratu langsung masuk ke istana Raja Sumba Barat dan mendapatkan Baginda Raja Sumba Barat sedang minum kopi. Karena memiliki kesaktian yang tinggi, Maga Djara dan Maleba Nega Ratu tidak bisa dilihat oleh seluruh pengawal Raja Sumba Barat ketika masuk ke dalam istana Raja. Maga Djara langsung menuju kursi Raja dan mencekik leher Raja Sumba Barat hingga lidahnya keluar dari dalam mulut dan setelah itu Maleba Nega Ratu memukul baginda Raja hingga terjatuh dari kursinya. Pada saat itu pula sang Raja menyerah dan mengaku kalah serta menanyakan kepada Maga Djara dan Maleba Nega Ratu bahwa siapa yang menyuruh mereka untuk datang membunuh sang Raja Sumba Barat. Dengan polos Maga Djara dan Maleba Nega Ratu memberitahu bahwa yang menyruh mereka adalah Raja Sumba Timur.


Mendengar jawaban tersebut, maka terkejutlah sang raja dan menanyakan kepada mereka apa yang mereka mau di wilayah Sumba Barat, dengan santai dan polos Maga Djara dan Maleba Nega Ratu menjawab bahwa mereka membutukan tanah. Permintaan tersebut akhirnya dikabulakan oleh Raja Sumba Barat dengan memberikan Sebidang tanah untuk Maga Djara dan maleba Nega Ratu, tanah tersbut oleh Maga Djara dan Maleba Nega Ratu diberi nama dalam bahasa Sabu dengan nama “ Mude Kale Nara, Kako Lape Huni Wega” yang artinya bahwa untuk mendapat tanah tersebut mereka hanya cukup meyakinkan orang dalam hal ini Raja bahwa mereka adalah orang sakti atau Mone pana, padahal itu hanya spekulasi semata dari mereka.Setelah itu maka Maga Djara akhirnya kembali ke Sabu Raijua dan menjadi Pulodo Liae.

Senin, 19 Juni 2017

Asal Muasal Upacara Adat Dabba Ana di Kabupaten Sabu Raijua



Oleh : JEFRISON HARIYANTO FERNANDO, S.I.P




          Ritual adat Dabba Ana merupakan kegiatan rutinitas yang termasuk dalam siklus kehidupan masyarakat Sabu Raijua yang beragama suku atau yang masih beraliran Kepercayaan JINGITIU. Ritual adat Daba Ana dalam budaya Sabu Raijua bisa dikatan kegiatan permaindian adat bagi anak-anak yang baru lahir. Ritual adat ini akan dilaksanakn pada bulan adat Warru Dabba sesuai dengan kelender adat masyarakat Sabu Raijua.

Ritual adat Dabba Ana pertama kali dilakukan oleh leluhur orang Sabu Raijua yang bernama Mone Ie, untuk permandian adat atau Dabba Ana dari anaknya yang bernama Abba Mone yang dilaksanakan di kawasan upacara adat Dara Rae Mone Ie, Desa Teriwu, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua. Ritual adat Dabba Ana bertujuan agar anak yang dilahirkan telah diakui sebagai warga masyarakat Jingitiu dan telah dimatreikan sebagai milik Tuhan Allah atau dalam Bahasa Sabu disebut Deo Ama.
Proses Dabba Ana akan diawali dengan kegiatan Puru Loko atau pengambilan air oleh Ibu kandung dari anak yang akan dipermandikan atau di Dabba tersebut dengan berpakian adat lengkap atau Nau Hawu serta memakai haik dalam bahasa sabu disebut Haba Tenae sebagai wadah penampungan air tersebut. Setelah sang ibu kembali dari mengambil air air tersebut akan ditempatkan di salah satu wadah yang luas yang terbuat dari Seludang Pinang atau Keruba Wanyi. Ketika air sudah disiapkan di wadah tersebut maka bayi yang akan dipermandikan atau di Dabba akan di masukan ke wadah yang berisi air tersebut dalam pasisi berdiri. Proses permandian ini akan dilaksanakan di dalam rumah adat tepatnya di tiang induk rumah tersebut atau dalam bahasa Sabu Raijua disebut Tarru Duru. Ketika anak tersebut berada dalam posisi berdiri di dalam wadah yang berisi air tadi (Keruba Wanyi) maka ibu kandung dari anak tersebut akan mengambil air dan meneteskan diatas kepala Anaknya sebanyak 3 (tiga) kali dengan di ikuti dengan doa kepada Allah Bapa dengan permohonan agar anak tersebut mendapat kekuatan, keberuntungan, umur penjang, kesehatan dan kesuburran untuk beranak cucu memenuhi bumi.

Setelah doa dan kegiatan percikan air tersebut selesai maka dilanjutkan dengan kegiatan makan siri pinang bersama seluruh keluarga yang hadir di tempat tersebut . pada tahapan ini ludah siri pinang akan di cap pada bagian testa anak tersebut sebanyak 3 ( tiga) kali, setelah itu anak tersebut akan digendong oleh ibu kandungnya ke luar dalam keadaan telanjang, sedangkan ibu kandung dan ayah kandung harus berpakian adat. Anak tersebut akan di bawa ke luar rumah dan di depan rumah di angkat sebanyak 3 ( tiga) kali dengan muka harus menghadap ke arah bagian barat, pada tahapan ini akan dibacakan doa kepada Tuhan yang Maha Esa agar anak tersebut dijauhi dari segala marabahaya, malapetaka, sakit penyaki dan roh-roh jahat .setelah tahapn tersebut dilakukan, maka anak yang di Dabba tadi, dibawa kembali ke dalam rumah untuk diberikan pakian untuk dipakai.

Setelah rangkaian pembacaan doa tersebut dilakukan, maka tahapan terakhir pada hari itu adalah seluruh masyarakat yang datang ke rumah itu dilayani dengan diberikan siri pinang dan pada saat yang bersamaan masyarakat yang datang melakukan sabung ayam di depan rumah. Perlu diketahui bahwa sabang ayam tersebut tidak menggunakan pisau serta tidak boleh ada tahuhan atau unsur judi di dalamnya. Maksud dari kegiatan itu adalah seluruh masyarakat yang datang ke rumah orang yang melakukan Dabba Ana merasa turut berbahagia bersama-sama tuan Rumah.
Setelah dua bulan kemudian menurut perhitungan kelender adat Sabu maka akan masuk pada warru Bangaliwu dan tepat pada satu hari sebelum bulan purnama atau dalam bahasa Sabu disebut Lodo Panu Pe, maka akan dilakukan kegiatan lanjutan dari ritual Dabba Ana yang telah dilaksanakan di warru Dabba yaitu Ritual Nga’a Manu Ana, dimana orang tua atau keluarga dari anak yang telah di Dabba dari 2 bulan sebelumnya akan membunuh ayam dan akan diundang beberapa keluarga untuk makan bersama pada hari tersebut.

Pada Bulan Purnama di Warru Bangaliwu, orang Sabu Raijua akan melakukan kegiatan Peiu Manu Bangaliwu pada siang hari, pedoa Buihi pada malam hari dan satu hari setelah itu baru dilanjutkan dengan ritual adat Buihi dangan rangkaian kegiatan pehere jara buihi atau pacuan kuda. Mulai saat itulah Anak yang telah di dabba akan menjalani kegiatan cukur rambut yang menandakan bahwa proses Dabba Ana telah Berakhir. Dalam proses cukur rambut , Rambut anak tersebut tidak di cukur semuanya akan tetapi akan dibiarkan segumpulan rambut pada dua bagian kepala yaitu pada bagian kepala di atas testa anak tersebut atau dalam bahasa Sabu disebut Runabaga dan pada bagian tengah atau ubun-ubun yang disebut dengan Rukatu Ae. Setelah rambut dicukur, maka rambut tersebut tidak boleh dibuang , akan tetapi akan dimasukan kedalam ketupat atau Kedu”e yang telah dianyam dari hari-hari berikutnya dan akan disimpan dengan baik di dalam sebuah tempat yang terbuat dari anyaman daun lontar yang disebut dengan Kepepe. Proses cukur rambut tersebut memiliki makna bahwa anak tersebut telah diterima sebagai warga masyarakat Jingitiu dan telah dimatreikan sebagai milik kepunyaan Deo Ama atau Tuhan Allah menurut kepercayaan orang Jingitiu. Perlu diketahui oleh kita semua bahwa, dalam budaya orang Sabu Raijua kususnya bagi Masyarakat yang masih menganut aliran kepercayaan Jingitiu, apabila anak yang dilahirkan meninggal dunia sebelum menjalani Ritual Dabba Ana maka anak tersebut disebut anak Domehari sehingga dalam proses kematian tidak ada ritual adat Pemou Domade atau dalam tradisi orang kristen sama hal dengan ibadat pengucapan Syukur.






Catatan : yang menjadi narasumber dalam Tulisan saya ini adalah Bapak WEMPI RUGE atau AMA WILA HEGE, yang merupakan sala satu Tokoh adat di wilayah adat Liae.

LEGENDA tentang RADJA UBA DARA MENANGA BANG’NGA



OLEH : Jefrison Hariyanto Fernando,S.I.P
Narasumber : Ina Rade Rihi ( Piga Rai Ada Dab”ba)
 
Pada zaman dulu Sabu Raijua masih memakai sistem pemerintahan adat dan yang menjadi pengelolaan pemerintahan pada zaman itu adalah para dewan Mone ama. Seluruh kegiatan adat yang berkaitan dengan kesejahteraan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dijalankan oleh dewan mone ama sebagai penanggung jawab adat. Dalam sistem pemerintahan adat orang Sabu Raijua, yang menjadi pimpinan tertinggi dewan mone ama dipegang oleh seseorang yang memangku jabatan sebagai Deo Rai dan di bantu oleh dua orang wakil yaitu Pulodo dan Dohe Leo.

Pada zaman Pulodo Udju Rebo di wilayah adat Liae yang sekarang menjadi Kecamatan Sabu Liae, Kabupaten Sabu Raijua, hiduplah seorang yang bernama Ma Upa Leo yang berasal dari Suku Napu Udju. Pada suatu hari Ma Upa Leo pergi menghadap Madila Tuka dari suku Kolorae yang berkediaman di kampung adat Kolo Waggu ( kampung adat Milik Deo Wag’gu) yang selalu menjalankan ritual Raja Uba dara . Ritual Raja Uba Dara merupakan ritual yang dijalankan oleh Masyarakat adat Jingitiu di Kabupaten Sabu Raijua untuk melarang masyarakat merusak biota laut seperti penangkapan penyu, pengrusakan terumbu karang, pengambilan pasir, pemboman ikan dan pengrusakan lainnya. Tujuan dari pelarangan tersebut bahwa orang Sabu Raijua kususnya penganut aliran kepercayaan jingitiu percaya apabila beberapa biora laut itu dirusak maka seta-setan dari laut atau dalam bahasa Sabu disebut Wango dahi, akan datang untuk menyerang manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan di darat.

Tujuan dari Ma Upa Leo datang kepada Ma Dila Tuka untuk memberitahukan bahwa dia melihat ada satu muara yang tidak dilakukan ritual Raja Uba Dara oleh Pulodo, sedangkan dia melihat setan-setan dari laut ( Wango Dahi) sering keluar dari tempat itu ke darat dan Nama Muara tersebut adalah Menanga Bangga. Oleh karena itu Ma Upa Leo memberikan masukan kepada Ma Dila Tuka agar berkoordinasi dengan pulodo untuk melakukan ritual Raja Uba dara di lokasi tersebut ( Menanga Bang’nga) dan akhirnya Ma Dila Tuka menyetujui usulan dari Ma Upa Leo. Pada saat itu pula, Ma Dila Tuka memerintah Ma Upa Leo untuk menyampaikan informasi kepada Pulodo Udju Rebo agar Pulodo boleh melakukan ritual Radja Uba Dara di Lokasi menanga Bang’nga serta dengan satu pesan bahwa jika polodo melakukan Radja Uba dara maka sebagai ucapan terima kasih Ma Dila Tuka akan memberikan tanah tanah yang akan diperutukan untuk suku Mone Appa ( empat Suku ) yaitu suku Napujara, Napulay, Napuleru dan Napu Udju.

Setelah kembali dari Kolo Wag’gu untuk bertemu dengan Ma Dila Tuka, Ma Upa Leo langsung pergi menemui Pulodo Udju Rebo dan menyampaikan pesan yang di sampaikan oleh Ma Dila Tuka kepada Pulodo untuk kegiatan Ritual Raja Uba Dara untuk lokasi Menanga Bang’nga dilakukan oleh Pulodo serta sebagai ucapan terima kasih suku mone ap’pa akan diberikan tanah . selain menyampaikan pesan dari Ma Dila Tuka kepada Pulodo Udju Rebo, Ma Upa Leo juga berpesan kepada pulodo apabila Pulodo melakukan Ritual Raja Uba Dara, maka harus dilakukan atas Nama Ma Upa Leo dan setelah itu Ma Upa Leo juga berpesan Kepada Pulodo Udju Rebo agar setelah kembali dari Ritual Radja Uba Dara, dia berharap untuk singga untuk makan minum di rumahnya di kampung adat yang bernama Ei dari yang sekarang terletak di wilayah administrasi Desa ledeke, Kecamatan Sabu Liae, Kabupaten Sabu Raijua. Itulah sebabnya hingga saat ini, ketika Pulodo kembali dari Ritual Raja Uba Dara, dia tidak langsung ke rumah seperti Mone Ama lainnya , akan tetapi dia akan singga di Kampung Ei Dari untuk makan minum bersama dengan keturunan Ma Upa Leo.




Sabtu, 03 Juni 2017

"RITUAL NGA’A NYALE dan HEKO NYALE DI KABUPATEN SABU RAIJUA"



OLEH : Jefrison Hariyanto Fernando, S.I.P
Narasumber : Wempy Ruge atau Ama Wila Hege


          Nyale adalah sala satu jenis cacing laut yang hidup dilubang batu dan tidak muncul secara terus menerus ke permukaan. Menurut cerita beberapa penutur di Sabu Raijua , nyale tidak sebatas cacing laut biasa akan tetapi sesuai dengan adat istiadat orang Sabu nyale merupakan cacing laut yang punya filosofi dan sejarah sendiri bagi seluruh masyarakat Sabu Raijua. Dalam legenda tentang Nyale, orang Raijua percaya bahwa munculnya nyale karena seorang putri yang berubah wujud menjadi cacing laut atau nyale.

Dalam berbagai penuturan yang disampaikan oleh beberapa tokoh adat di Kabupaten Sabu Raijua bahwa pada zaman dulu ada seorang gadis yang terserang penyakit kulit yang sudah puluhan tahun tidak bisa disembuhkan oleh obat apapun serta para dukun yang ada di kabupaten Sabu Raijua. Pada suatu hari ia bersama ibunya pergi ke laut untuk mencari ikan, pada saat yang bersamaan ia dengan ibunya berpisah di beberapa lokasi yang berbeda dan ketika ibunya kembali untuk menemui dan menjemput dia untuk kembali ternyata anaknya tidak ada lagi, akan tetapi yang ada hanya nyale yang sedang hidup di lokasi tempat anak tersebut mencari ikan. Pada saat itulah ibu dari anak tersebut yakin bahwa anaknya telah berubah wujud menjadi nyale dan pada saat yang bersamaan ada suara berseru dari dalam batu karang tempat nyale-nyale itu bermain yang mengatakan kepada ibunya bahwa ia telah berubah wujud menjadi nyale dan berpesan kepada ibunya bahwa dalam waktu-waktu tertentu ia akan muncul untuk menampakan diri kepada orang banyak, akan tetapi apabila yang datang untuk menangkap dia adalah orang yang sedang hamil, orang yang sedang datang bulan, ibu menyusui serta orang tua yang anaknya belom dilakukan Dabba atau permandian adat jingitiu maka ia akan hilang atau tidak mau menampakan diri. Itulah sebabnya dalam kegiatan heko nyale yang dilakukan di Kabupaten Sabu Raijua mereka yang sedang hamil, sedang datang bulan, ibu menyusui serta orang tua yang anaknya belom menjalani ritual adat Dabba Ana atau permandian adat dilarang untuk ikut serta dalam kegiatan Heko/Hibu Nyale atau tangkap Nyale

Sesuai dengan kelender adat Kebupaten Sabu Raijua yang terdiri dari lima wilayah adat, memiliki jadwal Heko/Hibu Nyale atau tangkap nyale yang sudah diatur secara turun temurun oleh nenek moyang orang Sabu Raijua. Pada tulisan ini penulis mengambil sampel Ritual adat Nga”a Nyale dan Heko Nyale untuk wilayah adat Liae. Dalam ritual adat Nga’a dan Hibu Nyale di Wilayah adat Liae terdiri atas 3 kali kegiatan Nga’a Nyale yaitu Nyale Kelila , Nyale Ae dan Nyale Dabba.

Nga’a Nyale dan Heko Nyale Kelila akan dilaksanakan pada Bulan Adat atau Warru Kelila Adji Lay tepatnya pada Pidu Pehape atau tujuh hari setelah purnama sesuai dengan perhitungan kelender adat liae atau bulan Januari kelender Masehi. Nyale kelila ini jarang ada dan apabila ada maka oleh orang Sabu Raijua dipercayai sebagai tanda alam bahwa dalam waktu satu tahun kelender adat yang akan datang Sabu Raijua akan mendapat kemakmuran, kesejateraan baik untuk Manusia, Hewan dan tumbu-tumbuan atau dalam bahasa Sabu disebut Do Ta Ie Rai serta seluruhnya akan terbebas dari mara bahaya, sakit penyakit serta sarangan dari roh-roh jahat. Selain sebagai tanda alam, Nyale kelila juga diyakini sebagai obat yang dapat menyembuhkan sakit penyakit yang menyerang manusia, hewan maupun tumbu-tumbuhan, sehingga pada zaman dulu ketika masyarkat mendapat nyale tersebut maka tidak akan dikonsumsi, akan tetapi akan di simpan sebagai obat.

Nga’a dan Heko Nyale Ae akan dilaksanakan pada bulan berikut setelah nyale Kelila yaitu pada bulan adat atau Warru Nyale tepatnya pada Pidu Pehape atau tujuh hari setelah bulan purnama berdasarkan perhitungan kelender adat atau bulan Februari kelender masehi. Ritual adat Nga’a Nyale Ae akan diawali dari dua hari sebelumnya dengan proses ritual yang bernama Nga’a Hanga Dimu atau Nga’a Wolara tepat pada Lami Pehape atau Lima hari setelah purnama. Tujuan dari ritual tersebut adalah untuk memulai memanen sorgum dan kacang Hijau yang telah siap dipanen. Sesuai dengan aturan adat yang berlaku di Kabupaten Sabu Raijua kususnya bagi masyarakat penganut Aliran Kepercayaan Jingitiu, mereka tidak diperbolehkan memanen sorgum atau memetik kacang hijau sebelum ritual Nga’a Hanga Dimu dilaksanakan dan itupun harus dilakukan oleh Deo Rai sebagai pimpinan dewan Mone ama tertinggi baru di ikuti oleh masyarakat, artinya bahwa Deo Rai yang harus memanen duluan pada ladang adat atau Ma Kewahu miliknya.

Ketika tiba pada Pidu Pehape atau tujuh hari setelah purnama maka Ritual Nga’a Nyale Ae akan dilaksanakan pada siang hari. Proses ritual nga’a nyale ae ini diawali dengan kegiatan Udu/Baja Nga’a atau persembahan sesajian berupa sorgum dan kacang hijau yang telah dimasak dan diletakan pada tiang induk rumah atau dalam bahasa Sabu disebut dengan Tarru Duru serta akan disertai dengan Doa kepada Deo Ama atau Allah Bapak yang isi doanya berupa pengucapan syukur atas hasil panen, berdoa untuk kesuburan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan untuk tahun yang akan datang serta permohonan untuk memanggil nyale yang akan ditangkap atau di Heko pada malam harinya. Setelah itu , pada malam hari akan dilaksanakan upacara Heko Nyale Ae atau tangkap nyale di laut oleh seluruh masyarakat yang ada.

Pada bulan adat atau Warru Dabba dalam perhitungan kelender adat atau Bulan Maret dalam perhitungan Kelender Masehi masyarakat adat akan melakukan Ritual Dabba Ana atau Permandian adat bagi anak-anak penganut kepercayaan Jingitiu serta Ritual Tali Manu Dabba atau ritual sabung ayam adat dengan tujuan mengakhiri perang manusia dengan manusia serta manusia dengan roh-roh jahat. Kegiatan Dabba Ana ankan dilaksanakan pada saat bulan purnama atau dalam bahasa Sabu disebut Hilu Wara, sedangkan Ritual Tali Manu Dabba akan dilaksanakan pada Hepe Hape atau satu hari setelah purnama dan Due Pehape atau dua hari setelah purnama. Pada hari ketiga setelah purnama atau Tal’lu Pehape maka akan dilanjutkan dengan ritual Pehelila Ru Manu. Untuk menutup seluruh rangkaian upacara adat pada Warru Dabba (bulan Maret) maka ketika hari ketuju setelah bulan purnama muncul atau Pidu Pehape maka akan dilakukan upacara Adat Heko/Hibu Nyale Dabba atau tangkap nyale oleh seluruh masyarakat Sabu Raijua. Dalam upacara Heko/Hibu Nyale Dabba, tidak ada ritual kusus yang dilaksanakan seperti pada ritual Nga’a Nyale dan Heko/Hibu Nyale Ae misalnya persembahan sesajian di tiang induk rumah adat.