Jumat, 02 September 2016

SEJARAH PANTANGAN UNTUK MAKAN DAGING ANJING BAGI UDU (suku) NAPUJU, NALERU, NAPULAI, NAPUJARA DI WILAYAH ADAT LIAE, KABUPATEN SABU RAIJUA

Oleh : JEFRISON HARIYANTO

                Dalam kamus bahasa Indonesia yang sudah di sempurnakan, pantangan dapat diartikan sebagai larangan dalam melakukan suatu hal tertentu. Pada tulisan ini, pantangan lebih difokuskan pada pelarangan memakan suatu makanan bagi sebagian orang. Larangan tersebut merupakan hal yang mutlak sebenarnya jika harus dilakukan secara iklas tanpa terprovokasi dengan hal-hal dari luar. Anjing merupakan hewan yang sangat digemarkan oleh banyak orang akhir-akhir ini. Kegemaran orang terhadap anjing tidak saja sebagai hewan peliharaan, tetapi selain itu orang juga gemar mencicipi dagingnya yang begitu lezat. Kegemaran orang mencicipi daging anjing tentu dengan adanya mitos yang beredar dikalangan masyarakat bahwa daging anjing menambah stamina bagi para lelaki.

Memakan daging anjing kenyataannya tidak semua orang suka, ada yang dilarang karena aturan yang memaksa agar tidak boleh memakan daging anjing, ada juga yang jijik karena anjing sering memakan sembarangan makanan di luar termasuk hajat manusia sehingga kebanyakan orang tidak suka memakan daging anjing karena alas an tersebut, selain itu ada juga orang yang tidak suka makan daging anjing karena ketakutan terkena penyakit rabies yang virusnya bisa ditularkan melalui anjing.
Pada konteks tulisan ini penulis ingin memfokuskan pada pantangan memakan daging anjing karena unsur sejarah dan budayanya. Tentu kita pasti ingat aturan-aturan di negeri eropa bahwa warga Negara dilarang makan daging anjing dikarenakan alasan sejarah. Salah satu pendapat yang berkembang dikalangan masyarakat saat ini yaitu karena anjing merupakan binatang penolong saat terjadi keadaan darurat. Pendapat tersebut lalu diimplementasikan dalam bentuk sebuah peraturan di Inggris karena punya sejarah yang mirip dengan sejarah yang terjadi di Kabupaten Sabu Raijua khususnya pada Udu atau suku Napu Jara di Kecamatan Sabu Liae.

Sejarah di Inggris membuktikan bahwa anjing bisa menyelamatkan manusia yang sedang dalam kondusi darurat. Pada suatu saat ada seorang tuan dari seekor anjing mengalami penyakit asma, yang mana di rumah mereka hanya ada si tuan anjing dan anjing kesayangannya. Sehingga pada saat itu pertolongan pada si tuan anjing itu sangat penting, kemudian anjing itu berusaha mencari pertolongan dengan cara berlari ke rumah tetangga sebelah untuk memberi tahukan  dengan cara menggonggong tetangga dari si tuan anjing tersebut. Berkat pertolongan anjing itulah akhirnya tetangga si tuan anjing berusaha untuk mengetahui apa maksud dari anjing itu, ternyata mengisyaratkan bahwa tuannya sedang membutuhkan pertolongan.

Sejarah serupa juga pernah terjadi di Kabupaten Sabu Raijua ribuan tahun yang lalu sebelum Negara-negara di Eropa memberlakukan dan menjunjung tinggi hak hidup binatang dalam hal ini anjing, serta menganggap anjing binatang penolong bagi manusia. Sejarah tersebut terjadi pada suku atau Udu Napu Jara di Kecamatan Sabu Liae, dimana kepala suku atau orang yang dituakan dalam kelompok Udu yang bernama HARI JUDDA melakukan perjalanan ke Kecamatan Hawu Mehara dan disana dia mengalami musibah yaitu orang Hawu Mehara membunuh serta memutilasinya. Potongan-potongan tubuhnya di buang orang Mehara ke dalam AI MADDA HOLLO (sumur yang berbentuk bulat).

HARRI JUDDA merupakan kepala suku atau orang yang dituakan pada suku NAPUJU, NALERU, NAPULAI, NAPU JARA yang memiliki hewan kesayangan seekor anjing dan seekor ayam, sehingga kemanapun dia pergi selalu membawa kedua hewan kesayangannya itu. Pada saat kejadian dimana HARI JUDDA di mutilasi dan potongan tubuhnya dibuang di AI MADDA HOLLO, kedua hewan kesayangan HARI JUDDAlah yang membantu mangangkat potongan tubuhnya dari dalam AI MADDA HOLLO dan anjing inilah yan berperan penting menyambungkan potongan tubuh HARI JUDDA sehingga tubuhnya bisa kembali utuh dan dia hidup kembali. Ketika HARI JUDDA hidup kembali dan dia kembali ke kampungnya di kecamatan Sabu Liae, maka ia bercerita tentang kronologi musibah yang menimpanya di kecamatan Hawu Mehara kepada seluruh anak suku DO NAPUJU, NALERU, NAPULAI, NAPU JARA serta ia menceritakan tentang pertolongan oleh ayam dan anjing sehingga ia hidup kembali. Pada saat itulah Udu NAPUJU, NALERU, NAPULAI, dan NAPU JARA timbul rasa syukur terhadap jasa ayam dan anjing yang telah menyelamatkan HARI JUDDA sehingga terjadi musyawarah mufakat dikalangan anak suku untuk menghargai dan memberikan penghargaan kepada kedua binatang tersebut. Hasil musyawarah mufakatnya awalnya adalah seluruh Udu  NAPUJU, NALERU, NAPULAI, dan NAPU JARA yang berada di kecamatan Sabu Liae dilarang membunuh dan mengkonsumsi daging ayam dan anjing, tetapi dikemudian hari terjadi perdebatan dengan keputusan tersebut dimana ayam menjadi binatang yang tidak pernah terlepas dari kehidupan orang sabu untuk dipakai dalam seluruh ritual adat mereka yaitu mulai dari bulu ayam, darah, hingga daging ayam.

Dalam sebuah keputusan tentu ada sangsi jika dilanggar, misalnya saja regulasi di Australia yang melarang untuk membunuh dan memakan daging anjing, jika hal itu dilanggar maka warga Negaranya harus membayar denda ke Negara. Akan tetapi pada saat itu di Kecamatan Sabu Liae khusus di Udu NAPU JARA keputusan tersebut melalui sebuah ritual khusus untuk melakukan perjanjian dengan para leluhur bahwa jika orang NAPU JARA melanggar keputusan dengan mengkonsumsi daging anjing maka tubuh orang NAPU JARA akan diserang penyakit kudis serta lutut mereka akan bengkak dan sakit sehingga sulit berjalan. Hal itu masih dialami dan dirasakan oleh orang suku NAPU JARA di Kecamatan Sabu Liae saat ini.

Ayam menjadi binatang utama dan sangat diperlukan dalam seluruh ritual adat di Sabu Raijua, atas dasar tersebut maka keputusan musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh Udu Do NAPUJU, NALERU, NAPULAI, dan NAPU JARA dengan melarang suku NAPU JARA utnuk membunuh dan memakan daging ayam dirubah. Oleh karena itu, hingga saat ini keputusan tersebut masih dilaksanakan oleh Udu Do NAPU JARA walaupun sudah banyak dari mereka yang menganggap bahwa itu hanya mitos belaka. Kesimpulan dari tulisan ini dapat saya tarik baahwa sebelum Negara-negara eropa menghargai dan menjunjung tinggi hak hidup binatang, di Sabu Raijua sudah duluan melakukan hal itu.


CATATAN BAGI PEMBACA : Saya mengharapkan masukan berupa usul dan saran untuk perbaikan tulisan ini, jika ada lagi informasi tentang hal ini yang menyangkut nilai-nilai budaya Sabu Raijua yang pembaca ketahui serta pemikiran-pemikiran baru yang bisa  melengkapi tulisan saya ini.